Kalaujilbab telah dinyatakan wajib, maka tidak ada kata tawar menawar atau dijadikan pilihan. Kalau dipaksakan dalam Perda agar para pegawai berjilbab, itu langkah yang patut didukung. Bukan malah seperti kata JIL yang menganggap Perda tersebut malah mengekang wanita. KomentarArtikel : X : pake jilbab bagi muslimah itu pilihan Y : salah, kewajiban donk X : ehpilihan Y : kewajiban X : pilihan Y : kewajiban X : pilihan Y : Bacajuga: Disdik DKI Bantah Ada Sekolah Paksa Siswi Pakai Jilbab: Enggak Mewajibkan, apalagi Memaksa. Di sisi lain, Taga mengatakan bahwa sebenarnya tak ada sekolah negeri di Ibu Kota yang memaksa muridnya mengenakan jilbab. "Yang bilang wajib enggak ada. Kemarin juga itu bukan mewajibkan kok. Inibukan justifikasi tapi sebuah aturan dari Ilahi. Berjilbab tidak berarti belum mendapat hidayah. Karena hidayah ada di mana saja tinggal kita mau meraihnya atau tidak. Menutup aurat adalah pilihan, kewajiban ini berlaku saat perempuan akil baligh. Bukan saat siap, saat dapat hidayah, atau alasan lain. Perkara ini masuk ranah yang dikuasai Vay Nhanh Fast Money. Oleh Irma Setyawati, Aktivis Muslimah Pasuruan [email protected] JILBAB bukanlah sebuah pilihan, tetapi merupakan sebuah kewajiban yang di perintahkan oleh Allah SWT. Ketika sudah berusia baligh, seorang wanita wajib berjilbab. Tidak ada alasan untuk tidak memakainya. Karena perintah tersebut di sampaikan oleh Allah SWT dengan tegas dan jelas di dalam Alquran. Allah SWT berfirman “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan, Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Qs. Al-Ahzab 59 BACA JUGA Benarkah Cadar atau Jilbab Budaya Arab? Ibnu Katsir ra. menjelaskan, “Allah Ta’ala memerintahkan kepada Rasulullah SAW agar dia menyuruh wanita-wanita mukmin, istri-istri dan anak-anak perempuan beliau agar mengulurkan jilbab keseluruh tubuh mereka. Sebab cara berpakaian yang demikian membedakan mereka dari kaum wanita jahiliah dan budak-budak perempuan,” Tafsir Ibnu Katsir. Bahkan ancaman bagi wanita yang sudah baligh dan tidak berjilbab juga cukup keras di sampaikan oleh Rasulullah yang juga menjadi bukti bahwa jilbab adalah sebuah kewajiban bukan pilihan. Rasulullah SAW bersabda, “Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat 1 Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan 2 para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal baunya dapat tercium dari jarak sekian dan sekian,” HR. Muslim no. 2128. Upaya mengaburkan kewajiban jilbab Ketika kita merujuk pada dalil di atas, sungguh apa yang di sampaikan oleh Sinta Nuriyah, istri Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang mengatakan bahwa perempuan muslim tidak wajib untuk memakai jilbab itu sangat tidak berdasar. Sinta Nuriyah di YouTube channel Deddy Corbuzier pada Rabu 15/1/2020 menyatakan “ bahwa setiap muslimah tidak wajib untuk mengenakan jilbab karena memang begitu adanya yang tertulis di Al Qu’ran jika memaknainya dengan tepat. Enggak juga semua muslimah harus memakai jilbab, kalau kita mengartikan ayat dalam Alquran itu secara benar,” kata Sinta. Selama ini ia berusaha mengartikan ayat-ayat Alquran secara kontekstual bukan tekstual. Sinta juga mengakui bahwa kaum muslim banyak yang keliru mengartikan ayat-ayat Alquran karena sudah melewati banyak terjemahan dari berbagai pihak yang mungkin saja memiliki kepentingan pribadi. Dipengaruhi oleh adat budaya setempat, cara berpikir dia juga itu memengaruhi pemahaman terhadap ayat-ayat agama yang bukan menjadi bahasanya, yang sama bahasanya pun bisa salah juga mengartikannya,” kata Sinta. Anaknya, Inayah Wahid yang berada di sebelahnya pun setuju dengan pendapat Sinta. Menurut dia, penafsir memang harus memiliki berbagai persyaratan untuk mengartikan ayat-ayat Alquran. “Enggak boleh orang menafsirkan dengan sembarangan,” kata Inayah. Keduanya pun menyadari setelah berkata demikian akan banyak yang tidak setuju dengan pandangannya hingga mendapatkan perisakan oleh netizen. Namun mereka juga tidak ingin memaksakan orang di luar sana untuk setuju dengan mereka. Metodologi memahami nash Alquran Alquran adalah sumber dan rujukan utama dalam ajaran-ajaran agama Islam sehingga sudah merupakan kewajiban bagi kita untuk berpegang teguh kepada Alquran. Karena jelas, Alquran adalah wahyu yang diturukan oleh Allah melalui perantara Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Namun pada praktik penerapannya, kita sangat membutuhkan sebuah metodologi agar dapat menguraikan maksud dari ayat-ayat Alquran. Metodologi tersebut adalah tafsir Alquran. Tafsir berasal dari kata fas-sa-ra. Secara etimologis dapat diartikan keterangan atau penjelasan yang menerangkan maksud dari suatu lafazh’. Seperti yang telah disinggung dalam Alquran “Dan mereka orang-orang kafir itu tidak datang kepadamu membawa sesuatu yang aneh, melainkan Kami datangkan kepadamu yang benar dan penjelasan yang paling baik.” QS. al-Furqaan 33 Secara singkat, tafsir dapat didefinisikan sebagai ilmu yang membantu memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dengan menggunakan metode dan aturan-aturan tertentu. Menurut Abdurrahman Al-Baghdadi, menafsikan Alquran haruslah dengan cara yang sesuai dengan Alquran itu sendiri. Yaitu dengan tekstual, dan bukan dengan kontekstual sesuai dengan situasi dan kondisi. Kemudian kita juga harus mengetahui terlebih dahulu apa yang dikemukakan oleh Alquran, yaitu dengan mempelajarinya secara ijmal garis besar sehingga hakikat yang dikemukakan oleh Alquran itu tampak jelas. Selain itu juga kita harus mempelajari dari segi lafazh dan maknanya sesuai dengan ketentuan bahasa Arab dan keterangan Rasulullah SAW. Dan untuk memahami ayat-ayat kauniah, kita juga membutuhkan wawasan khusus tentang ilmu pengetahuan sains yang berkembang dari waktu ke waktu. Karena Alquran adalah Risalah Ilahiah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka orang tidak akan mungkin dapat memahami semua isinya secara benar kecuali melalui apa yang telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW dalam As-Sunnah Al-Hadits. Seperti yang telah dijelaskan oleh Allah bahwa Alquran diturunkan kepada Rasul-Nya untuk dijelaskan ayat-ayatnya kepada manusia, sebagaimana yang termaktub dalam firman-Nya; “…Dan Kami turunkan az-zikr Alquran kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan isi kandungan Alquran.” QS. an-Nahl 44 Dengan kata lain orang yang ingin menafsirkan Alquran harus menguasai As-Sunnah, yang dalam hal ini adalah memahami sepenuhnya nash teks As-Sunnah, memahami setiap ide dan setiap hukum yang terkandung di dalamnya dan mengetahui tujuan yang dimaksud oleh kata-katanya, bukan hanya sekedar hafal susunan kalimatnya. BACA JUGA Dokter Wanita Muslim Ini Temukan Jilbab Steril Sekali Pakai untuk Keperluan Medis Tidak hanya sampai di situ. Masih banyak lagi ketentuan-ketentuan lain yang wajib kita ikuti untuk dapat menafsirkan Alquran. Seperti mengetahui dan memahami kisah-kisah sejarah di dalam Alquran atau berita tentang berbagai umat manusia pada zaman dulu yang bersumber dari Rasulullah. Kemudian kita juga harus mengetahui berbagai ilmu yang mendukung metode tafsir seperti ilmu Tauhid, ilmu Fiqih, ilmu I’rab gramatika, ilmu Balaghah, ilmu sejarah dan lain sebagainya. Standar ketentuan semacam itu akhirnya akan melahirkan tafsir Alquranyang benar-benar baik dan bisa dipertanggungjawabkan. Dan produk dari tafsir itu sendiri tidak akan keluar dari koridor-koridor ajaran Islam. Sehingga Alqurantetap dapat diterapkan di setiap tempat dan zaman fi kulli makan wa zaman tanpa harus mengubah hukum-hukum yang telah qoth’i dalam Alquran. Termasuk kewajiban jilbab yang dengan tegas di sampaikan oleh Allah SWT di dalam Alquran dan As Sunnah yang sudah tidak perlu di tafsir ulang, karena hal itu akan membawa bahaya besar bagi pengaburan seruan yang bersifat wajib akhirnya hanya menjadi sebuah pilihan. Tentunya ada bahaya yang lebih besar dari itu adalah akhirnya banyak kaum muslimah yang meninggalkan kewajiban tersebut dan terperosok melakukan dosa besar di hadapan Allah SWT tanpa dia sadari akibat pernyataan-pernyataan salah yang keluar dari mulut orang-orang yang selama ini “di anggap mengerti agama,” padahal faktanya menjadi perusak ajaran agama itu sendiri. [] Baca pembahasan sebelumnya Kata JIL Jilbab Bukan Kewajiban Namun Pilihan Bag. 1Masih melanjutkan beberapa kerancuan yang disuarakan oleh orang Liberal, terutama yang kami sanggah adalah kerancuan yang disampaikan Bu Musdah Mulia. Beliau adalah salah seorang tokoh JIL dan Ketua Lembaga Kajian Agama dan Jender LKAJ. Beliau memiliki beberapa pendapat yang aneh dan nyleneh mengenai jilbab yang perlu dijelaskan pada umat mengenai Bu Musdah juga mengemukakan kesimpulan dari Forum Pengkajian Islam UIN Sharif Hidayatullah tahun 1998 “Hukum Islam tidak menunjukkan batas aurat yang wajib ditutup, tetapi menyerahkan hal itu kepada masing-masing orang sesuai situasi, kondisi dan kebutuhan.”SanggahanIni juga pendapat beliau yang sama dengan sebelumnya. Kalau demikian adanya, maka berarti terserah kita menentukan manakah pakaian muslimah. Kalau di Arab pakai abaya dan hitam-hitam disertai cadar. Kalau di Indonesia, cukup kebaya. Kalau di Barat, tidak mengapa memakai pakaian renang. Apalagi di musim panas, cukup pakai celana pendek yang terlihat paha dan baju “u can see”. Karena semua dikembalikan pada individu masing-masing dan dilihat kondisi dan kebutuhan, tidak ada standar baku. Beda halnya jika yang jadi patokan adalah firman Allah dan sabda Rasul –shallallahu alaihi wa sallam-, maka jelas Beliau kembali berkata, “Jika teks-teks tentang jilbab tersebut dibaca dalam konteks sekarang, terlihat bahwa perempuan tidak perlu lagi memakai jilbab hanya sekadar agar mereka dikenali, atau mereka dibedakan dari perempuan yang berstatus budak, atau agar mereka tidak diganggu laki-laki jahat. Di masa sekarang, tidak ada lagi perbudakan, dan busana bukan ukuran untuk menetapkan identitas seseorang,” tandasnya Musdah juga mengatakan, “Jika perlindungan itu tidak dibutuhkan lagi karena sistem keamanan yang sudah sedemikian maju dan terjamin, tentu perempuan dapat memilih secara cerdas dan bebas apakah ia masih mau mengenakan jilbab atau tidak.”SanggahanYang beliau singgung di sini adalah surat Al Ahzab berikutيَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. Al Ahzab 59Mari kita simak kalam ulama salaf mengenai tafsiran ayat di Sudi rahimahullah mengatakan, “Dahulu orang-orang fasik di Madinah biasa keluar di waktu malam ketika malam begitu gelap di jalan-jalan Madinah. Mereka ingin menghadang para wanita. Dahulu orang-orang miskin dari penduduk Madinah mengalami kesusahan. Jika malam tiba para wanita yang susah tadi keluar ke jalan-jalan untuk memenuhi hajat mereka. Para orang fasik sangat ingin menggoda para wanita tadi. Ketika mereka melihat para wanita yang mengenakan jilbab, mereka katakan, “Ini adalah wanita merdeka. Jangan sampai menggagunya.” Namun ketika mereka melihat para wanita yang tidak berjilbab, mereka katakan, “Ini adalah budak wanita. Mari kita menghadangnya.”Mujahid rahimahullah berkata, “Hendaklah para wanita mengenakan jilbab supaya diketahui manakah yang termasuk wanita merdeka. Jika ada wanita yang berjilbab, orang-orang yang fasik ketika bertemu dengannya tidak akan menyakitinya.”[1]Penjelasan para ulama di atas menerangkan firman Allah mengenai manfaat jilbab,ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal.” QS. Al Ahzab 59Asy Syaukani rahimahullah menerangkan, “Ayat yang artinya, ” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal”, bukanlah yang dimaksud supaya salah satu di antara mereka dikenal, yaitu siapa wanita itu. Namun yang dimaksudkan adalah supaya mereka dikenal, manakah yang sudah merdeka, manakah yang masih budak. Karena jika mereka mengenakan jilbab, itu berarti mereka mengenakan pakaian orang merdeka.”[2]Inilah yang membedakan manakah budak dan wanita merdeka dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa wanita yang tidak berjilbab berarti masih menginginkan status dirinya sebagai budak. Bahkan Ibnu Katsir mengatakan bahwa jilbab bertujuan bukan hanya untuk membedakan dengan budak, bahkan dengan wanita jahiliyah.[3] Sehingga orang yang tidak berjilbab malah kembali ke zaman jahiliyah. Yang dimaksud zaman jahiliyah adalah masa sebelum diutusnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Disebut jahiliyah karena berada dalam zaman penuh kebodohan dan kesesatan sebagaimana disebutkan dalam kamus Al Mu’jam Al bandingkan, manakah yang lebih paham Qur’an, As Sudi dan Mujahid yang terkenal dengan keahliannya dalam ilmu tafsir dan juga Asy Syaukani yang tidak perlu lagi diragukan ilmunya, ataukah professor kemarin sore yang biasa memplintir ayat? Tentu saja yang kita ikuti adalah yang lebih salaf dari Bu Musdah Mulia. Seorang sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu berkata,مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ فَإِنَّ الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ“Siapa saja di antara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang masih hidup tidaklah aman dari fitnah.”[4] Benarlah kata Ibnu Mas’ud, lebih terfitnah lagi atau lebih rusak jika yang diambil perkataan adalah orang JIL yang muara logikanya tidak jelas dan tanpa pernah mau merujuk pada dalil atau perkataan ulama, maunya mengandalkan logikanya saja. Biar kita selamat, ambillah perkataan salaf daripada mengambil perkataan JIL yang logikanya mau dikatakan bahwa wanita muslimah tidak butuh identitas jilbab lagi untuk saat ini. Maka jawabnya, justru sangat butuh. Karena dengan jilbab seorang wanita lebih mudah dikenal, ia muslim ataukah bukan. Bahkan lebih mudah dikenal ia wanita baik-baik ataukah wanita nakal melalui Bu Musdah Mulia menganggap bahwa jilbab hanya bertujuan agar tidak diganggu laki-laki dan sekarang keamanan wanita sudah terjamin. Jawabnya, sudah terjamin dari mana? Justru kalau kita buat persentase, yang tidak berjilbab itu yang lebih banyak jadi korban perkosaan. Maka benarlah firman Allah,ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.” QS. Al Ahzab 59. Kita bandingkan perkataan Bu Musdah dengan seorang ulama. Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata, “Ayat di atas menunjukkan, orang yang tidak mengenakan jilbab akan lebih mudah digoda. Karena jika seorang wanita tidak berjilbab, maka orang-orang akan mengira bahwa ia bukanlah wanita afifaat wanita yang benar-benar menjaga diri atau kehormatannya. Akhirnya orang yang punya penyakit dalam hatinya muncul hal yang bukan-bukan, lantas mereka pun menyakitinya dan menganggapnya rendah seperti anggapan mereka itu budak. Akhirnya orang-orang yang ingin berlaku jelek merendahkannya.”[5] Apa yang disebutkan oleh Syaikh As Sa’di memang benar dan sesuai realita di … apa dengan alasan Bu Musdah seperti itu, jilbab mesti dilepas karena wanita sekarang tidak butuh identitas semacam itu? Silakan kita memilih, perkataan Bu Profesor ini lebih diikuti ataukah firman Allah, sabda Rasul dan perkataan ulama yang jelas lebih tinggi ilmunya dan pemahaman agamanya dibanding Ibu “Perempuan beriman tentu secara sadar akan memilih busana sederhana dan tidak berlebih-lebihan sehingga menimbulkan perhatian publik, dan yang pasti juga tidak untuk pamer riya”, ujar Bu Musdah bisa berjilbab disebut riya’? Aneh …Sebagaimana laki-laki jika ia diwajibkan shalat jama’ah di masjid, apa kita katakan ia riya’ jika pergi ke masjid? Jika seseorang ingin pergi shalat ied ke lapangan, apa juga disebut riya’?Jadi dengan alasan Bu Musdah, laki-laki tidak usah pergi ke masjid untuk berjama’ah. Begitu pula kita tidak perlu shalat ied di tanah lapang karena khawatir riya’.Justru kita katakan bahwa untuk amalan wajib yang harus ditampakkan, maka wajib Al-Izz bin Abdus Salam, amalan yang disyariatkan untuk ditampakkan seperti adzan, iqomat, ucapan takbir ketika shalat, membaca Qur’an secara jahr dalam shalat jahriyah Maghrib, Isya’ dan Shubuh, pen, ketika berkhutbah, amar ma’ruf nahi mungkar, mendirikan shalat jum’at dan shalat secara berjamaah, merayakan hari-hari ied, jihad, mengunjungi orang-orang yang sakit, dan mengantar jenazah, maka amalan semacam ini tidak mungkin disembunyikan. Jika pelaku amalan-amalan tersebut takut berbuat riya, maka hendaknya ia berusaha keras untuk menghilangkannya hingga dia bisa ikhlas dalam beramal. Sehingga dengan demikian dia akan mendapatkan pahala amalannya dan juga pahala karena kesungguhannya menghilangkan riya’ tadi, karena amalan-amalan ini maslahatnya juga untuk orang demikian, maka jilbab itu wajib ditampakkan dan itu bukanlah riya’. Bahkan kata Fudhail bin Iyadh,تَرْكُ الْعَمَلِ لِأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ وَالْعَمَلُ لِأَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ“Meninggalkan amalan karena manusia termasuk riya’. Melakukan amalan karena manusia termasuk syirik.”[6]Keenam Bu Musdah Mulia juga berkata, “Memakai jilbab bukanlah suatu kewajiban bagi perempuan Islam. Itu hanyalah ketentuan Al Qur’an bagi para istri dan anak-anak perempuan Nabi.”SanggahanBagaimana dikatakan jilbab hanya untuk anak dan istri nabi, sedangkan dalam ayat sudah dijelaskan pula secara terang bagi wanita beriman,يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin …” QS. Al Ahzab 59. Ayat hijab ini secara jelas menunjukkan perintah tersebut ditujukan pula untuk orang-orang beriman, namun terkhususkan pada istri dan anak Nabi.[7]Taruhlah jika perintah tersebut hanya untuk istri Nabi dan anak-anaknya. Kita dapat berikan jawaban bahwa jika untuk istri dan anak beliau saja diperintahkan untuk berjilbab padahal ada Nabi di sini mereka yang jelas mereka lebih terjaga dari gangguan, maka tentu wanita lainnya lebih pantas untuk menutup dirinya dengan jilbab. Lebih dari itu, jilbab adalah sebagai tanda kemulian istri dan anak Nabi[8]. Jadi, barangsiapa ingin mulia, berjilbablah dengan Beliau menyatakan pula, “Asbab nuzul ayat-ayat tentang perintah jilbab disimpulkan Musdah, bahwa jilbab lebih bernuansa ketentuan budaya ketimbang ajaran agama. Sebab, jika jilbab memang diterapkan untuk perlindungan atau meningkatkan prestige kaum perempuan beriman, maka dengan demikian dapatlah dianggap bahwa jilbab merupakan sesuatu yang lebih bernuansa budaya daripada bersifat religi.”SanggahanTidak sedikit komentar kaum penentang jilbab mengatakan, kalau jilbab adalah hasil adopsi budaya bangsa Arab. Sehingga menurut mereka, bangsa yang di luar Arab, tidak memiliki kewajiban untuk mengikuti budaya katakan jilbab adalah budaya Arab, maka kita mesti lihat sejarah Arab sebelum Islam itu datang. Kalau kita lihat penjelasan ulama, ternyata menunjukkan bahwa jilbab itu datang ketika Islam itu ada. Karena sebelumnya di zaman jahiliyah, wanita itu telanjang dada. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Perempuan pada zaman jahiliyah biasa melewati laki-laki dengan keadaan telanjang dada, tanpa ada kain sedikit pun. Kadang-kadang mereka memperlihatkan leher, rambut dan telinganya. Kemudian Allah akhirnya memerintahkan wanita beriman untuk menutupi diri dari hal-hal semacam tadi.”[9]Jelas sudah, kalau jilbab yang dianjurkan Islam beda jauh dengan budaya Arab. Lalu ada alasan lainkah yang mengatakan jilbab itu sebuah budaya Arab? Jika merujuk pada jilbab yang menutup aurat, jelas Islam lah yang dan hadits yang telah kami jelaskan di awal sudah menunjukkan bahwa jilbab adalah bukan budaya arab, namun ajaran Islam yang langsung diperintahkan oleh Allah. Ajaran Islam bersifat universal untuk orang Arab dan non Arab sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam”QS. Al Anbiya’ 107. Ibnu Jarir Ath Thobari berkata bahwa tidaklah Nabi Muhammad itu diutus melainkan sebagai rahmat bagi seluruh makhluk Allah yang beliau diutus kepadanya.[10]Demikian beberapa penjelasan sebagai sanggahan pada beberapa syubhat atau kerancuan yang biasa disampaikan orang-orang Liberal atau JIL. Moga Allah terus menguatkan iman kita dengan akidah dan pemahaman agama yang benar, serta menghindarkan kita dari pemahaman orang-orang yang tak tahu waliyyut taufiq. Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 20 Rajab 1433 HPenulis Muhammad Abduh TuasikalArtikel Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 11 243[2] Fathul Qodir, 6 79.[3] Lihat Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 11 242.[4] Majmu’ Al Fatawa, 3 126.[5] Taisir Al Karimir Rahman, hal. 671[6] Majmu’ Al Fatawa, 23 174.[7] Lihat Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 11 242[9] Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 10 218.[10] Tafsir Ath Thobari, 16 439. Apakah memakai atau tidak memakai hijab itu pilihan yang bebas diambil oleh seorang muslimah? Ikuti kisah ketujuh perempuan ini yang mengemukakan alasan mereka melepaskan picture-alliance/NurPhoto

jilbab itu wajib bukan pilihan